Perempuan Inovatif dan Kebudayaan Digital

Perempuan ini terbilang paling muda jika dibandingkan dengan sederet budayawan lainnya. Umurnya masih 23 tahun, sedang budayawan lainnya, yang menggeluti dunia kebudayaan hampir rata rata sudah berumur. Seperti sosok budayawan multitalenta, yang akrab dipanggil Gus Mus, kini ia sudah menginjak umur 77 tahun. Begitupun dengan Emha Ainun Nadjib, Sujiwo Tedjo, KH. Zawawi Imron, Butet Kertaradjasa dan lain lain. Hampir semua tokoh budayawan itu sudah berumur tua.
Budayawan muda ini, terlahir pada 13 Februari 1998 yang bertempat di Kota Tebing Tinggi. Ia memiliki nama lengkap Cyntia Handy, kerap dipanggil Cyntia. Ia pindah ke Kota Mojokerto sejak berada di bangku SMP. Usai dari SMP TNH, ia ke SMA TNH. Dan menyelesaikan pendidikan sarajananya di S1 Psikologi Universitas Surabaya.
Cintya, sejak remaja sudah akrab dengan dunia kebudayaan. Meskipun ia tidak tergabung secara langsung, tetapi sudah melakukan komunikasi dengan banyak komunitas untuk membangun dunia kebudayaan. Waktu kuliah, ia tergabung secara langsung dengan kegiatan yang berhubungan dengan kebudayaan, seperti menjadi duta wisata provinsi Jawa Timur.
Pengalaman dan pengetahuan yang mendalam tentang kebudayaan, menghantarkannya ia diamanahi untuk menjadi direktur di Museum Gubug wayang. Padahal kala ia menjadi direktur Museum Gubug Wayang, ia belum menyelesaikan pendidikan sarjananya.
Tentang hobynya menggeluti dunia kebudayaan, perempuan cantik ini, menuturkan bahwa ia sebenarnya tidak mempunyai bakat di bidang kesenian dan kebudayaan, tetapi mempunyai minat untuk pengembangan budaya lebih populer di masyarakat agar banyak yang aktif di dunia kebudayaan.
“Motivasi saya menekuni kebudayaan, agar dapat menjadikan kebudayaan sebagai ruang yang menarik bagi anak-anak bahkan membangun stigma bahwa kebudayaan dapat menjadi industri tersendiri,” tutur perempuan ini dalam menjelaskan motivasinya memasuki dunia kebudayaan.
Lebih jauh, sambil membetulkan posisi duduknya, Cyntia menjelaskan, agar kebudayaan bisa menjadi hal yang menarik bagi anak anak, maka ia memberikan konsep yang selama ini digelutinya di Museum Gubung Wayang.
Di Museum Gubug Wayang, selama pandemi ini, membuat inovasi dengan menampilkan sisi-sisi kebudayaan sebagai edukasi bagi masyarakat. Melalui media youtubenya yang bernama “Gubug Inovatif”, mereka membuat beberapa video yang menayangkan beberapa tarian tradisional seperti tari bajidor kahot, tari pendet, tari muang sangkal, tari zapin mandilingan, tari jejer jaran dhawuk, tari banjar kemuning, tari lenggang Surabaya, tari remo jombangan, tari mojang priangan, tari mayang rontek, dan tari bondan.
Tidak sekadar menampilkan tarian tradisional, di youtube “Gubug Inovatif” juga mengenalkan dunia keris. Seperti mengenal dasar-dasar tombak totog, mengenal wedung ron kenduru, mengenal keris brojol tubanan, mengenal keris leres mojopahit pamor ceprit, mengenal dasar-dasar keris pendowo uler lulut, mengenal wedung lawe saukel, mengenal keris kulit semongko era Tuban, mengenal kapak pethik, serta mengenal keris leres slewah.
Untuk mengenalkan wayang, dengan inovasi digital, “Gubug Inovatif” menayangkan beberapa dongeng yang menggunakan media wayang yang merupakan koleksi Museum Gubug Wayang. Seperti dongeng kancil dan buaya, dongeng kancil dan kerbau yang angkuh, dan dongeng kancil mencuri ketimun.
Pertunjukan wayang, meskipun menggunakan bahasa jawa, bahasanya tidak terlalu rumit untuk dimengerti. Juga disediakan subtitle berbahasa indonesia sehingga semua orang bisa mengerti dialog selama pertunjukan.
“Dunia kebudayaan saat ini harus mengikuti perkembangan era digitalisasi agar menarik minat remaja untuk menggandrungi dunia kebudayaan, karena itu juga salah satu cara agar kebudayaan tidak sirna di mata masyarakat.” tuturnya.
kebudayaan Indonesia, kata Cintya, memiliki potensi untuk mendatangkan dampak positif yang sangat beragam mulai dari sosial hingga ekonomi. Kebudayaan juga intisari dari ekonomi kreatif. Museum adalah awal yang tepat untuk menciptakan ekosistem bahwa budaya adalah sebuah industri yang menjanjikan bagi masa depan.
“Perlu waktu dalam mewujudkannya, tetapi ini adalah sebuah kepastian dalam hal potensi dan kemungkinan terwujudnya, tinggal sejauh mana gotong royong dalam mewujudkannya. Sebab budaya tidak berbicara tentang aku, tetapi berbicara tentang kita,” tambahnya.
Dunia kebudayaan saat ini harus menyetarakan dengan perkembangan zaman, karena untuk meningkatkan minat masyarakat dengan dunia kebudayaan, salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan digitalisasi. Di akhir wawancara budayawan ini memiliki pesan kepada generasi muda,
“keadaannya saat ini juga dikarenakan kurangnya anak muda di ruang kebudayaan. Maka dari itu mari kita hadir untuk juga dapat mengangkat pemajuan kebudayaan berkelanjutan.”tutupnya.
Penulis : Putri Luthfia Nazhiifah